Di pendopoku, saya sementara melayani nanda Muzakkir atau ‘Akkir’, Ketua PAC Pemuda Pancasila Kecamatan Manggala ditemani anggotanya, Otong dan Sahril yang juga seorang Staf Kecamatan Manggala Makassar.
Diselah pembicaraan, handphone (HP) Sahril berdering. Saya dengar suara wanita sepintas, ada kabar duka sekalipun tak dispeaker. Maklum telinga Wartawan.
Rasa ingin tahu, ketika HP terputus, saya sergah bertanya :
“Siapa yang meninggal, nak ?”.
“Suaminya ibu Putrietna, Pensiunan ASN Kantor Camat, pak,” jawabnya.
Kaget karena yang dimaksud itu, sahabat seperjuangan dan seprofesi saya USDAR NAWAWI owner media Bugis Pos yang saat ini sebagai Wakil Ketua PWI Sulsel Bidang Hukum dan Pembelaan Wartawan.
“Tolong telepon ulang dan speaker, pastikan tak salah dengar,” pinta saya ke Sahril.
Ketika ada jawaban dari balik telepon, bagai melayang rasanya.
Innalillahi Wainnailaihi Rajiun…
Teringat Jumat lalu, saya berdampingan duduk di Mesjid Al Amaan Polsek Manggala. Dia datang penuhi ajakan saya lewat WA.
Tak banyak yang sempat saya cerita karena dia buruburu pulang, sambil membawa bingkisan ‘Jumat berkah’nya.
Itu pertemuan terakhir saya, sekalipun hanya tetangga blok saja.
Otong kemudian saya minta segera pergi membantu persiapan kedatangan jenazah di rumahduka dari RS Hermina.
Seingat saya, sembilan jam lalu almarhum Usdar Nawawi masih sempat memposting tulisannya di facebook tentang seorang hakim agung yang ‘Mappakasiri’ dicokok KPK.
Empat hari berturut, malah postingannya aktif, termasuk terobosan Walikota Makassar, Danny Pomanto tentang Ojol yang dinilainya sebagai ‘dua sisi mata uang’. Karena, ojol panen, tapi tukang parkir harus libur tiap Selasa di seluruh kantor Pemerintah Kota Makassar.
* * *
Tak ada info dia sakit. Namun memang saudara saya ini, jarang serius hadapi penyakit.
Saat pendemi Covid-19 saja, Usdar Nawawi kadang masih mau ngopi bareng lepas masker sambil merokok. Ngobrol jalan, tapi menulis tetap produktif.
* * *
Tahun lalu, almarhum menerbitkan kumpulan kumpulan tulisannya. Ia minta saya buat testimoni lewat WhatsApp (WA)nya
Saya menulis begini :
“Membaca buku esai Usdar Nawawi ini, kita diajak merenung tentang rekaman momentum peristiwa di masa-masa lalu.
Esai-esainya menggelitik, bercerita tentang pemerintahan, hukum, budaya, dan sosial kemasyarakatan. Semua ditulis dengan apik, enjoy, dan menginspirasi. Kadang juga meledak-ledak.
Usdar Nawawi menulis esainya ini dari waktu ke waktu, dari suasana ke suasana berikutnya. Mencerminkan, kepekaannya dalam melihat momentum peristiwa yang patut direkam dalam esai.
Kesimpulan Saya, Usdar Nawawi telah menjadi wartawan yang tak pernah capek menulis. Dia pantas disebut Esais yang pantang istirahat untuk menulis. Dia menemukan jati dirinya sebagai penulis esai yang konsisten pada prinsip, bahwa menulis sepanjang hayat adalah pilihan…
* * *
Selamat jalan sahabatku. Engkau buktikan berkarya hingga hayat dikandung badan…
Hanya Alfatihah yang mampu saya persembahkan diiringi tetes airmata yang ‘melangkah-langkah’ di pelupuk.
Sungguh banyak cerita tentang kita berdua.
Semoga pulaslah tidurmu di Kharibaan-Nya..
Aamiin Yaa Rabbal Alamin…
(Andi Pasamangi Wawo – Penasihat PWI Sulsel)
Komentar